NAMA :
NUZULUL KHOIRUNNISA’
NIM : 120210302103
KELAS :
B
MATA KULIAH : STRATEGI
BELAJAR MENGAJAR BIDANG STUDI
PROGRAM STUDI :
PENDIDIKAN SEJARAH
STRATEGI PENGEMBANGAN
MATERI PELAJARAN SEJARAH
MENURUT I GDE WIDJA
I Gde Widja menyatakan bahwa pembelajaran
Sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya
mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini
(Widja,1989). Pendapat Widja tersebut
dapat disimpulkan bahwa mata pelajaran Sejarah merupakan bidang studi yang
terkait dengan fakta-fakta dalam Ilmu Sejarah namun tetap memperhatikan tujuan pendidikan
pada umumnya. Mengutip pernyataan dari
Elton, sering muncul kecurigaan di kalangan sejarawan bahkan para pendidik
terhadap alasan mengkaitkan Sejarah dengan proses pendidikan. Proses pendidikan Sejarah dianggap hanya menjadi
sumber kecenderungan etnosentris, bahkan mengarah ke “xenophobia”. Sementara
itu, Namier (dalam Widja, 1997) berpendapat bahwa peran sejarah sebagai “moral precepts” atau ajaran moral
dianggap dapat menjelma menjadi indoktrinasi sebagai legitimasi doktrin atau ideologi
tertentu (Widja,1997:174). Sebagaimana
pandangan Bacon, bahwa “histories make
man wise”, Sejarah diharapkan yang mempelajari menjadi lebih bijaksana
(dalam Widja,1989). Sejarah tidak pernah
berakhir diantara masa yang akan dating dengan masa lampau “Histories unending dialogue betweenthe present
and the past” (Widja, 1988:
49-50).
Selain itu sejarawan lain yakni Mahasin berpandangan
bahwa kritik umum kepada pendukung nilai edukatif Sejarah dalam penanaman nilai-nilai
sejarah melalui proses pendidikan
yang
lebih menonjol adalah pencapaian tujuan-tujuan edukatif yang bersifat ekstrinsik atau instrumental. Padahal dalam teori belajar yang lebih utama
adalah nilai instrinsik. Penekanan sifat ekstrinsik atau instrumental
dalam Pendidikan Sejarah akan lebih mengarah pada pemahaman nilai sejarah
sebagai landasan bagi pembentukan semacam alat cetak membentuk manusia yang
sudah ditentukan sebelumnya (predefined
person), baik dalam rangka “cultural
transmission” maupun dalam penyiapan” moral precepts” bagi generasi baru. Dalam kerangka berpikir seperti ini, muncul
kecenderungan atau dorongan pemujaan berlebihan terhadap masa lampau yang pada
gilirannya memberi peluang bagi kekaburan realitas sejarah demi kepentingan
masa kini atau kecenderungan presentisme. Pengaburan seperti ini
bisa mendorong generasi baru hanya terpesona atau mengagumi masa lampau tanpa
pernah berpikir secara kreatif merencanakan bangunan masa depannya (Mahasin
dalam I Gde Widja, 1997:176). Sebagai
jalan tengah memahami permasalahan di atas, perlu ditekankam strategi dasar
berupa penanaman nilai yang dinamis progresif. Dalam perspektif ini,
apabila dalam proses belajar-mengajar sejarah tidak bisa dihindarkan mengajak
siswa untuk mengambil nilai-nilai dari masa lampau, bukanlah dimaksudkan agar
siswa terpaku dan terpesona pada kegemilangan masa lampau. Nilai-nilai masa lampau diperlukan untuk
menjadi kekuatan motivasi menghadapi tantangan masa depan (I Gde Widja, 1997:
183).
Mata pelajaran Sejarah sebagai alat mengabdi kepada
tujuan pendidikan yang multi aspek. Meski
demikian, Sejarah sebagai mata pelajaran tidak mengabaikan konsep dasar dan
prinsip keilmuan. Sejarah sebagai mata
pelajaran yang mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu dan sejarah
sebagai ilmu harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Hal tersebut penting agar kekhawatiran tentang
subjektivitas Sejarah dalam pembelajaran Sejarah tidak mengorbankan ilmu
Sejarah. Jalan tengah menyikapi sudut pandang
yang berbeda dapat diselesaikan melalui slogan “histories make man wise”, sehingga perbedaan pandangan tersebut
juga harus disikapi dengan bijaksana.
Deskripsi
I Gde Widja (1989) berikut ini bisa jadi merupakan representasi buruknya
kualitas praksis pembelajaran Sejarah di Indonesia yang pada gilirannya
bermuara pada timbulnya problematik status dan posisi Sejarah sebagai mata pelajaran
:
“… sering didapat kesan
bahwa pelajaran Sejarah itu tidak menarik, bahkan sangat membosankan. Guru Sejarah hanya membeberkan fakta-fakta
kering berupa urutan tahun dan peristiwa belaka. Pelajaran Sejarah dirasakan murid hanyalah
mengulangi hal-hal yang sama dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Model serta teknik pengajarannya dari waktu ke
waktu juga itu-itu saja. Apa yang
terjadi di kelas biasanya adalah guru memulai pelajaran dengan bercerita atau
lebih tepat membacakan apa-apa yang telah tertulis di dalam buku ajar dan
akhirnya langsung menutup pelajarannya begitu bel akhir pelajaran
berbunyi. Tidak mengherankan di pihak
guru-guru (termasuk guru Sejarah sendiri) sering timbul kesan bahwa mengajar
Sejarah itu mudah”.
Menurut Widja (1989; 1991), buruknya kualitas praksis
pembelajaran Sejarah di sekolah bersumber dari kekeliruan dalam memahami
hakekat Sejarah itu sendiri. Umumnya
kurang disadari bahwasannya Sejarah merupakan disiplin ilmu yang memiliki ciri
karakteristik bersifat khas, sedemikian khasnya sehingga praksis pembelajaran Sejarah pun tidak saja
memerlukan keahlian khusus, tetapi bahkan membutuhkan keterampilan istimewa. ”The teaching on history is in fact a skilled
and complex process which demands a highly professional approach” (Freeman, dalam Steel, 1976). Dari pernyataan ini tampak dengan jelas bahwa
praktis pembelajaran Sejarah memerlukan guru yang tidak sekadar berkualifikasi
akademik sarjana, melainkan guru yang sungguh-sungguh profesional.
Strategi pembelajaran merupakan satu hal yang urgensinya
sungguh-sungguh tidak boleh dipandang sebelah mata dalam konteks pembelajaran. Pilihan suatu strategi pembelajaran bukan saja
akan sangat menentukan pola interaksi kegiatan belajar mengajar dan tahap-tahap pencapaian tujuan pembelajaran,
tetapi bahkan akan sangat menentukan pula tingkat serta kadar hasil belajar
(Widja, 1989).
Terkait dengan itu, I Gde Widja (1989) mengungkapkan bahwa
bertolak dari pikiran tiga dimensi sejarah maka proses pendidikan khususnya
pengajaran sejarah ibarat mengajak peserta didik menengok ke belakang dengan
tujuan melihat ke depan. Makna yang
tertuang dari pendapat ahli tersebut adalah dengan mempelajari nilai-nilai
kehidupan masyarakat di masa lampau, diharapkan peserta didik mencari atau
mengadakan seleksi terhadap nilai-nilai itu, mana yang relevan atau dapat
dikembangkan dalam menghadapi tantangan zaman yang kompleks di masa kini maupun
yang akan datang. Proses mencari atau
proses seleksi jelas menekankan pada pendekatan proses serta menuntut untuk
lebih diciptakan aktivitas fisik-mental dan kreativitas siswa dalam belajar
sejarah. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (1992) bahwa hendaknya pengajaran sejarah
memberi pengertian yang mendalam serta suatu keterampilan.
Dalam pelaksanaan pendekatan kontesktual atau inkuiri dalam
pembelajaran sejarah, hendaknya tidak semata-mata menekankan aktifnya peserta
didik dalam pembelajaran, tetapi lebih dari itu perlu diperhatikan maknanya
yang lebih luas, sebagaimana diungkapkan oleh I Gde Widja (1991), berikut ini :
Ø Mengembangkan sikap kritis analitik
dalam menerima uraian guru atau dalam mengamati gejala / peristiwa sejarah
Ø Membiasakan murid berpikir konsep
(merumuskan pandangan konseptual), bukan sekedar mengulangi apa yang dia dibaca
atau dengar dari guru
Ø Mendorong siswa membaca / menemukan
sendiri informasi tangan pertama, bukan sekedar yang disampaikan / diberitahukan
orang lain / guru, yang memungkinkan mereka lebih mampu berpikir orisinil dalam
menghadapi gejala / peristiwa sejarah
Ø Membiasakan murid membuat karangan
singkat yang bersifat analitik projektif yang berkaitan dengan usaha
meningkatkan kemampuan mereka dalam melihat tiga dimensi sejarah (masa lampau,
masa kini dan masa yang akan datang)
Ø Membiasakan murid bersifat mandiri
dalam mengajukan pendapat, meskipun mereka dianjurkan pula untuk bekerja secara
kelompok
Ø Membiasakan siswa berpikir
multidimensional (terutama dalam arti tidak bersifat deterministic) dalam
membahas suatu masalah
Ø Membiasakan siswa bersifat terbuka
atau demokratis, dalam arti selalu bersedia menerima pendapat pihak lain, jika
pendapat pihak lain tersebut memang lebih kuat argumentasinya dari pendapatnya
sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar