Rabu, 17 Desember 2014

TUGAS STRATEGI BELAJAR MENGAJAR BIDANG STUDI "STRATEGI PENGEMBANGAN MATERI PELAJARAN SEJARAH MENURUT I GDE WIDJA"



NAMA                                   : NUZULUL KHOIRUNNISA’
NIM                                       : 120210302103
KELAS                                   : B
MATA KULIAH                    : STRATEGI BELAJAR MENGAJAR BIDANG STUDI
PROGRAM STUDI              : PENDIDIKAN SEJARAH


STRATEGI PENGEMBANGAN MATERI PELAJARAN SEJARAH
MENURUT I GDE WIDJA

I Gde Widja menyatakan bahwa pembelajaran Sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini (Widja,1989).   Pendapat Widja tersebut dapat disimpulkan bahwa mata pelajaran Sejarah merupakan bidang studi yang terkait dengan fakta-fakta dalam Ilmu Sejarah namun tetap memperhatikan tujuan pendidikan pada umumnya.  Mengutip pernyataan dari Elton, sering muncul kecurigaan di kalangan sejarawan bahkan para pendidik terhadap alasan mengkaitkan Sejarah dengan proses pendidikan.  Proses pendidikan Sejarah dianggap hanya menjadi sumber kecenderungan etnosentris, bahkan mengarah ke “xenophobia”.  Sementara itu, Namier (dalam Widja, 1997) berpendapat bahwa peran sejarah sebagai “moral precepts” atau ajaran moral dianggap dapat menjelma menjadi indoktrinasi sebagai legitimasi doktrin atau ideologi tertentu (Widja,1997:174).  Sebagaimana pandangan Bacon, bahwa “histories make man wise”, Sejarah diharapkan yang mempelajari menjadi lebih bijaksana (dalam Widja,1989).  Sejarah tidak pernah berakhir diantara masa yang akan dating dengan masa lampau “Histories unending dialogue betweenthe present and the past” (Widja, 1988: 49-50).
Selain itu sejarawan lain yakni Mahasin berpandangan bahwa kritik umum kepada pendukung nilai edukatif Sejarah dalam penanaman nilai-nilai sejarah melalui proses pendidikan
yang lebih menonjol adalah pencapaian tujuan-tujuan edukatif yang bersifat ekstrinsik atau instrumental.  Padahal dalam teori belajar yang lebih utama adalah nilai instrinsik.  Penekanan sifat ekstrinsik atau instrumental dalam Pendidikan Sejarah akan lebih mengarah pada pemahaman nilai sejarah sebagai landasan bagi pembentukan semacam alat cetak membentuk manusia yang sudah ditentukan sebelumnya (predefined person), baik dalam rangka “cultural transmission” maupun dalam penyiapan” moral precepts” bagi generasi baru.  Dalam kerangka berpikir seperti ini, muncul kecenderungan atau dorongan pemujaan berlebihan terhadap masa lampau yang pada gilirannya memberi peluang bagi kekaburan realitas sejarah demi kepentingan masa kini atau kecenderungan presentisme.  Pengaburan seperti ini bisa mendorong generasi baru hanya terpesona atau mengagumi masa lampau tanpa pernah berpikir secara kreatif merencanakan bangunan masa depannya (Mahasin dalam I Gde Widja, 1997:176).  Sebagai jalan tengah memahami permasalahan di atas, perlu ditekankam strategi dasar berupa penanaman nilai yang dinamis progresif.  Dalam perspektif ini, apabila dalam proses belajar-mengajar sejarah tidak bisa dihindarkan mengajak siswa untuk mengambil nilai-nilai dari masa lampau, bukanlah dimaksudkan agar siswa terpaku dan terpesona pada kegemilangan masa lampau.  Nilai-nilai masa lampau diperlukan untuk menjadi kekuatan motivasi menghadapi tantangan masa depan (I Gde Widja, 1997: 183).
Mata pelajaran Sejarah sebagai alat mengabdi kepada tujuan pendidikan yang multi aspek.  Meski demikian, Sejarah sebagai mata pelajaran tidak mengabaikan konsep dasar dan prinsip keilmuan.  Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu dan sejarah sebagai ilmu harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya.  Hal tersebut penting agar kekhawatiran tentang subjektivitas Sejarah dalam pembelajaran Sejarah tidak mengorbankan ilmu Sejarah.  Jalan tengah menyikapi sudut pandang yang berbeda dapat diselesaikan melalui slogan “histories make man wise”, sehingga perbedaan pandangan tersebut juga harus disikapi dengan bijaksana.
Deskripsi I Gde Widja (1989) berikut ini bisa jadi merupakan representasi buruknya kualitas praksis pembelajaran Sejarah di Indonesia yang pada gilirannya bermuara pada timbulnya problematik status dan posisi Sejarah sebagai mata pelajaran :
“… sering didapat kesan bahwa pelajaran Sejarah itu tidak menarik, bahkan sangat membosankan.  Guru Sejarah hanya membeberkan fakta-fakta kering berupa urutan tahun dan peristiwa belaka.  Pelajaran Sejarah dirasakan murid hanyalah mengulangi hal-hal yang sama dari tingkat SD sampai perguruan tinggi.  Model serta teknik pengajarannya dari waktu ke waktu juga itu-itu saja.  Apa yang terjadi di kelas biasanya adalah guru memulai pelajaran dengan bercerita atau lebih tepat membacakan apa-apa yang telah tertulis di dalam buku ajar dan akhirnya langsung menutup pelajarannya begitu bel akhir pelajaran berbunyi.  Tidak mengherankan di pihak guru-guru (termasuk guru Sejarah sendiri) sering timbul kesan bahwa mengajar Sejarah itu mudah”.
Menurut Widja (1989; 1991), buruknya kualitas praksis pembelajaran Sejarah di sekolah bersumber dari kekeliruan dalam memahami hakekat Sejarah itu sendiri.  Umumnya kurang disadari bahwasannya Sejarah merupakan disiplin ilmu yang memiliki ciri karakteristik bersifat khas, sedemikian khasnya sehingga  praksis pembelajaran Sejarah pun tidak saja memerlukan keahlian khusus, tetapi bahkan membutuhkan keterampilan istimewa.  ”The teaching on history is in fact a skilled and complex process which demands a highly professional approach”  (Freeman, dalam Steel, 1976).  Dari pernyataan ini tampak dengan jelas bahwa praktis pembelajaran Sejarah memerlukan guru yang tidak sekadar berkualifikasi akademik sarjana, melainkan guru yang sungguh-sungguh profesional.
Strategi pembelajaran merupakan satu hal yang urgensinya sungguh-sungguh tidak boleh dipandang sebelah mata dalam konteks pembelajaran.  Pilihan suatu strategi pembelajaran bukan saja akan sangat menentukan pola interaksi kegiatan belajar mengajar dan  tahap-tahap pencapaian tujuan pembelajaran, tetapi bahkan akan sangat menentukan pula tingkat serta kadar hasil belajar (Widja, 1989).
Terkait dengan itu, I Gde Widja (1989) mengungkapkan bahwa bertolak dari pikiran tiga dimensi sejarah maka proses pendidikan khususnya pengajaran sejarah ibarat mengajak peserta didik menengok ke belakang dengan tujuan melihat ke depan.  Makna yang tertuang dari pendapat ahli tersebut adalah dengan mempelajari nilai-nilai kehidupan masyarakat di masa lampau, diharapkan peserta didik mencari atau mengadakan seleksi terhadap nilai-nilai itu, mana yang relevan atau dapat dikembangkan dalam menghadapi tantangan zaman yang kompleks di masa kini maupun yang akan datang.  Proses mencari atau proses seleksi jelas menekankan pada pendekatan proses serta menuntut untuk lebih diciptakan aktivitas fisik-mental dan kreativitas siswa dalam belajar sejarah.  Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (1992) bahwa hendaknya pengajaran sejarah memberi pengertian yang mendalam serta suatu keterampilan.
Dalam pelaksanaan pendekatan kontesktual atau inkuiri dalam pembelajaran sejarah, hendaknya tidak semata-mata menekankan aktifnya peserta didik dalam pembelajaran, tetapi lebih dari itu perlu diperhatikan maknanya yang lebih luas, sebagaimana diungkapkan oleh I Gde Widja (1991), berikut ini :
Ø  Mengembangkan sikap kritis analitik dalam menerima uraian guru atau dalam mengamati gejala / peristiwa sejarah
Ø  Membiasakan murid berpikir konsep (merumuskan pandangan konseptual), bukan sekedar mengulangi apa yang dia dibaca atau dengar dari guru
Ø  Mendorong siswa membaca / menemukan sendiri informasi tangan pertama, bukan sekedar yang disampaikan / diberitahukan orang lain / guru, yang memungkinkan mereka lebih mampu berpikir orisinil dalam menghadapi gejala / peristiwa sejarah
Ø  Membiasakan murid membuat karangan singkat yang bersifat analitik projektif yang berkaitan dengan usaha meningkatkan kemampuan mereka dalam melihat tiga dimensi sejarah (masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang)
Ø  Membiasakan murid bersifat mandiri dalam mengajukan pendapat, meskipun mereka dianjurkan pula untuk bekerja secara kelompok
Ø  Membiasakan siswa berpikir multidimensional (terutama dalam arti tidak bersifat deterministic) dalam membahas suatu masalah
Ø  Membiasakan siswa bersifat terbuka atau demokratis, dalam arti selalu bersedia menerima pendapat pihak lain, jika pendapat pihak lain tersebut memang lebih kuat argumentasinya dari pendapatnya sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar